Ruang Sidang Dewan Perwakilan Rakyat Dalam penyelenggaraan dan fungsi tugas negara kesejahteraan melalui pemerintah, diselenggarakan dengan beberapa model atau pola operasi pemerintah, sehingga diharapkan dengan model tersebut akan terwujud negara kesejahteraan. Pertanyaan : a. Coba saudara uraikan model atau pola operasional pemerintah menurut Muchsan ! b. Coba Saudara jelaskan apa yang dimaksud dengan model operasi langsung (direct operation) yang dilakukan pemerintah ! dalam perkuliah terutama yang dilakukan secara daring atau online, sering kita jumpai pertanyaan seperti diatas. untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut kita harus memahami terlebih dahulu ragam atau pola operasi dari pemerintah untuk mewujudkan negara yang sejahtera. Berikut adalah ragam pola pemerintah yang dimaksud. Muchsan mengungkapkan bahwa terdapat beberapa model atau pola operasional pemerintah yang dapat digunakan dalam penyelenggaraan tugas negara kesejahteraan. Pola operasi pemerintahan tersebu
BAB I
PENDAHULUAN
A. CYBERSPACE
Untuk sampai pada pembahasan mengenai ”cyber law”, terlebih dahulu perlu
dijelaskan satu istilah yang sangat erat kaitannya dengan ”cyber law” yaitu
”cyberspace” (ruang maya), karena ”cyberspace”-lah yang akan menjadi objek atau
concern dari ”cyber law”. Istilah ”cyberspace” untuk pertama kalinya
diperkenalkan oleh William Gibson seorang penulis fiksi ilmiah (science
fiction) dalam novelnya yang berjudul Neuromancer Istilah yang sama kemudian
diulanginya dalam novelnya yang lain yang berjudul Virtual Light.
Banyak orang yang mengatakan bahwa dunia cyber (cyberspace) tidak dapat
diatur. Cyberspace adalah dunia maya
dimana tidak ada lagi batas ruang dan waktu. Padahal ruang dan waktu
seringkali dijadikan acuan hukum. Jika seorang warga Indonesia melakukan
transaksi dengan sebuah perusahaan Inggris yang menggunakan server di Amerika,
dimanakah (dan kapan) sebenarnya transaksi terjadi? Hukum mana yang digunakan?
Teknologi digital yang digunakan untuk mengimplementasikan dunia cyber
memiliki kelebihan dalam hal duplikasi atau regenerasi. Data digital dapat
direproduksi dengan sempurna seperti aslinya tanpa mengurangi kualitas data
asilnya. Hal ini sulit dilakukan dalam teknologi analog, dimana kualitas data
asli lebih baik dari duplikatnya. Sebuah salian (fotocopy) dari dokumen yang
ditulis dengan tangan memiliki kualitas lebih buruk dari aslinya.
Seseorang dengan mudah dapat memverifikasi keaslian sebuah dokumen.
Sementara itu dokumen yang dibuat oleh sebuah wordprocessor dapat digandakan
dengan mudah, dimana dokumen “asli” dan “salinan” memiliki fitur yang sama.
Jadi mana dokumen yang “asli”? Apakah dokumen yang ada di disk saya? Atau yang
ada di memori komputer saat ini? Atau dokumen yang ada di CD-ROM atau flash
disk? Dunia digital memungkinkan kita memiliki lebih dari satu dokumen asli.
Seringkali transaksi yang resmi membutuhkan tanda tangan untuk meyakinkan
keabsahannya. Bagaimana menterjemahkan tanda tangan konvensional ke dunia
digital? Apakah bisa kita gunakan tanda tangan yang di-scan, atau dengan kata
lain menggunakan digitized signature? Apa bedanya digitized signature dengan
digital signature dan apakah tanda tangan digital ini dapat diakui secara
hukum?
Tanda tangan ini sebenarnya digunakan untuk memastikan identitas. Apakah
memang digital identity seorang manusia hanya dapat diberikan dengan
menggunakan tanda tangan? Dapatkah kita menggunakan sistem biometrik yang dapat
mengambil ciri kita dengan lebih akurat? Apakah e-mail, avatar, digital
dignature, digital certificate dapat digunakan sebagai identitas (dengan
tingkat keamanan yang berbeda-beda tentunya)?
Semua contoh-contoh (atau lebih tepatnya pertanyaan-pertanyaan) di atas
menantang landasan hukum konvensional. Jadi, apakah dibutuhkan sebuah hukum
baru yang bergerak di ruangcyber, sebuah cyberlaw? Jika dibuat sebuah hukum
baru, manakah batas teritorinya? Riil atau virtual? Apakah hukum ini hanya
berlaku untuk cybercommunity – komunitas orang di dunia cyber yang memiliki
kultur, etika, dan aturan sendiri – saja? Bagaimana jika efek atau dampak dari
(aktivitas di) dunia cyber ini dirasakan oleh komunitas di luar dunia cyber itu
sendiri? Atau apakah kita dapat menggunakan dan menyesuaikan hukum yang sudah
ada saat ini?
Kata “cyber” berasal dari “cybernetics,” yaitu sebuah bidang studi yang
terkait dengan komunikasi dan pengendalian jarak jauh. Norbert Wiener merupakan
orang pertama yang mencetuskan kata tersebut. Kata pengendalian perlu mendapat
tekanan karena tujuannya adalah “total control.” Jadi agak aneh jika asal kata
cyber memiliki makna dapat dikendalikan akan tetapi dunia cyber tidak dapat
dikendalikan.
B. HAL-HAL YANG AKAN DIBAHAS
Pembahasan materi kali ini saya akan
membahas mengenai perbandingan Cyber Law, Computer crime act (Malaysia),
Council of Europe Convention on Cyber Crime. Ketiga pembahasan kali ini
berkaitan dengan kejahatan di dunia internet, peraturan hukum yang berlaku di
dunia internet.
Masih teringat di dalam ingatan kita
mengenai adanya kasus seorang wanita yang berurusan dengan pihak yang berwajib
karena dianggap telah melakukan suatu penghinaan terhadap pihak tertentu.
Kejadian ini merupakan salah satu dari serangkaian kasus yang terjadi di dalam
dunia internet. Dengan adanya peraturan hukum yang berlaku untuk dunia
internet, diharapkan tingkat kejahatan yang terjadi di dunia maya ini dapat
dihilangkan.
C. TUJUAN PEMBAHASAN
Tujuan
pembahasan antara lain :
1.
Memenuhi tugas Matakuliah Etika Profesi
2.
Mengetahui tentang Cyber Law, Computer crime act
(Malaysia), Council of Europe Convention on Cyber Crime
3.
Mengetahui perbedaan
antara Cyber Law, Computer crime act
(Malaysia), Council of Europe Convention on Cyber Crime
BAB II
PEMBAHASAN
A. CYBER LAW
Cyber Law merupakan suatu peraturan hukum yang digunakan di dunia maya.
Cyber Law ini diasosiasikan dengan media internet yang merupkan aspek hukum
dengan ruang lingkup yang di setiap aspeknya berhubungan dengan manusia atau
subyek hukum dengan menggunakan atau memanaatkan teknologi internet, misalnya
aspek komunikatif, transaksional, dan distributif, dari teknologi serta
perangkat informasi yang terhubung ke dalam sebuah jaringan.
Inisiatif untuk membuat “cyberlaw” di Indonesia sudah dimulai sebelum tahun
1999. Fokus utama waktu itu adalah pada “payung hukum” yang generik dan sedikit
mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada
sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya.
Karena sifatnya yang generik, diharapkan rancangan undang-undang tersebut cepat
diresmikan dan kita bisa maju ke yang lebih spesifik.
Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana. Untuk hal yang terkait
dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama seperti tanda
tangan konvensional merupakan target. Jika digital signature dapat diakui, maka
hal ini akan mempermudah banyak hal seperti electronic commerce (e-commerce),
electronic procurement (e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik
lainnya.
Namun ternyata dalam perjalanannya ada beberapa masukan sehingga hal-hal
lain pun masuk ke dalam rancangan “cyberlaw” Indonesia. Beberapa hal yang
mungkin masuk antara lain adalah hal-hal yang terkait dengan kejahatan di dunia
maya (cybercrime), penyalahgunaan penggunaan komputer, hacking, membocorkan
password, electronic banking, pemanfaatan internet untuk pemerintahan (e-government)
dan kesehatan, masalah HAKI, penyalahgunaan nama domain, dan masalah privasi.
Penambahan isi disebabkan karena belum ada undang-undang lain yang mengatur
hal ini di Indonesia sehingga ada ide untuk memasukkan semuanya ke dalam satu
rancangan. Nama dari RUU ini pun berubah dari Pemanfaatan Teknologi Informasi,
ke Transaksi Elektronik, dan akhirnya menjadi RUU Informasi dan Transaksi
Elektronik. Di luar negeri umumnya materi ini dipecah-pecah menjadi beberapa
undang-undang. Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyberlaw ini yang
terkait dengan teritori. Misalkan seorang cracker dari sebuah negara Eropa
melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia.
Dapatkah hukum kita menjangkau sang penyusup ini? Salah satu pendekatan
yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas crackingnya terasa di Indonesia,
makaIndonesia berhak mengadili yang bersangkutan. Apakah kita akan mengejar
cracker ini ke luar negeri? Nampaknya hal ini akan sulit dilakukan mengingat
keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh kita. Yang dapat kita lakukan
adalah menangkap cracker ini jika dia mengunjungi Indonesia. Dengan kata lain,
dia kehilangan kesempatan / hak untuk mengunjungi sebuah tempat di dunia.
Pendekatan ini dilakukan oleh Amerika Serikat.
Di dalam
karyanya yang berjudul Code and Other Laws of Cyberspace, Lawrence Lessig
mendeskripsikan empat mode utama regulasi internet, yaitu :
1. Law
(Hukum)
East Coast
Code (Kode Pantai Timur) standar, dimana kegiatan di internet sudah merupakan
subjek dari hukum konvensional. Hal-hal seperti perjudian secara online dengan
cara yang sama seperti halnya secara offline.
2.
Architecture (Arsitektur)
West Coast
Code (Kode Pantai Barat), dimana mekanisme ini memperhatikan parameter dari
bisa atau tidaknya informasi dikirimkan lewat internet. Semua hal mulai dari
aplikasi penyaring internet (seperti aplikasi pencari kata kunci) ke program
enkripsi, sampai ke arsitektur dasar dari protokol TCP/IP, termasuk dalam
kategori regulasi ini.
3. Norms
(Norma)
Norma
merupakan suatu aturan, di dalam setiap kegiatan akan diatur secara tak
terlihat lewat aturan yang terdapat di dalam komunitas, dalam hal ini oleh
pengguna internet.
4. Market
(Pasar)
Sejalan
dengan regulasi oleh norma di atas, pasar juga mengatur beberapa pola tertentu
atas kegiatan di internet. Internet menciptakan pasar informasi virtual yang
mempengaruhi semua hal mulai dari penilaian perbandingan layanan ke penilaian
saham.
Secara garis besar ruang lingkup ”cyber law” ini berkaitan dengan
persoalan-persoalan atau ’ aspek hukum dari E-Commerce, Trademark/Domain Names,
Privacy and Security on the Internet, Copyright, Defamation, Content
Regulation, Disptle Settlement, dan sebagainya.
1.
Electronic Commerce
Pada awalnya electronic commerce (E-Commerce) bergerak dalam bidang retail
seperti perdagangan CD atau buku lewat situs dalam World Wide Web (www). Tapi
saat ini Ecommerce sudah melangkah jauh menjangkau aktivitas-aktivitas di
bidang perbankan dan jasa asuransi yang meliputi antara lain ”account
inquiries”, ”1oan transaction”, dan sebagainya.
Sampai saat ini belum ada pengertian yang tunggal mengenai
E-Commerce. Hal ini disebabkan karena hampir setiap saat muncul bentuk-
bentuk baru dari Ecommerce dan tampaknya E-Commerce ini merupakan salah satu
aktivitas cyberspace yang berkembang sangat pesat dan agresif.
Sebagai pegangan (sementara) kita lihat definisi E-Commerce dari
ECEG-Australia (Electronic Cornmerce Expert Group) sebagai berikut: “Electronic
commerce is a broad concept that covers any commercial transaction that is
effected via electronic means and would include such means as facsimile, telex,
EDI, Internet and the telephone”.
Secara singkat E-Commerce dapat dipahami sebagai transaksi perdagangan baik
barang maupun jasa lewat media elektronik. Dalam operasionalnya E-Commerce ini
dapat berbentuk B to B (Business to Business) atau B to C (Business to
Consumers). Khusus untuk yang terakhir (B to C), karena pada umumnya posisi
konsumen tidak sekuat perusahaan dan dapat menimbulkan beberapa persoalan yang
menyebabkan para konsumen agak hati-hati dalam melakukan transaksi lewat
Internet.
2. Copy
Right
Internet
dipandang sebagai media yang bersifat ”low-cost distribution channel” untuk
penyebaran informasi dan produk-produk entertainment seperti film, musik, dan
buku. Produk-produk tersebut saat ini didistribusikan lewat ”physical format”
seperti video dan compact disks. Hal ini memungkinkan untuk didownload secara
mudah oleh konsumen. Sampai saat ini belum ada perlindungan hak cipta yang
cukup memadai untuk menanggulangi masalah ini.
3. Dispute
Settlement
Masalah hukum lain yang tidak kalah pentingnya adalah berkenaan dengan
mekanisme penyelesaian sengketa yang .cukup memadai untuk mengantisipasi
sengketa yang kemungkinan timbul dari transaksi elektronik ini.
Sampai saat ini belum ada satu mekanisme penyelesaian sengketa yang memadai
baik di level nasional maupun internasional. Sehingga yang paling mungkin
dilakukan oleh para pihak yang bersengketa saat ini adalah menyelesaikan
sengketa tersebut secara konvensional. Hal ini tentunya menimbulkan
pertanyaan mengingat transaksi itu terjadi di dunia maya, tapi mengapa
penyelesaiannya di dunia nyata. Apakah tidak mungkin untuk dibuat satu
mekanisme penyelesaian sengketa yang juga bersifat virtual (On-line Dispute
Resolution).
4. Domain
Name
Domain name
dalam Internet secara sederhana dapat diumpamakan seperti nomor telepon atau
sebuah alamat. Contoh, domain name untuk Monash University Law School,
Australia adalah ”law.monash.edu.au”. Domain name dibaca dari kanan ke kiri
yang menunjukkan tingkat spesifikasinya, dari yang paling umum ke yang paling
khusus. Untuk contoh di atas, ”au” menunjuk kepada Australia sebagai
geographical region, sedangkan ”edu” artinya pendidikan (education) sebagai
Top-level Domain name (TLD) yang menjelaskan mengenai tujuan dari institusi
tersebut.
Elemen seIanjutnya adalah ”monash” yang merupakan ”the Second-Level Domain
name” (SLD) yang dipilih oleh pendaftar domain name, sedangkan elemen yang
terakhir ”law” adalah ”subdomain” dari monash Gabungan antara SLD dan TLD
dengan berbagai pilihan subdomain disebut ”domain name”.
Domain names diberikan kepada organisasi, perusahaan atau individu oleh
InterNIC (the Internet Network Information Centre) berdasarkan kontrak dengan
the National Science Foundation (Amerika) melalui Network Solutions, Inc.
(NSI). Untuk mendaftarkankan sebuah domain name melalui NSI seseorang cukup
membuka situs InterNIC dan mengisi sejumlah form InterNIC akan melayani para
pendaftar berdasarkan prinsip ”first come first served”. InterNIC tidak akan memverifikasi
mengenai ’hak’ pendaftar untuk memilih satu nama tertentu, tapi pendaftar harus
menyetujui ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam ”NSI’s domain name dispute
resolution policy”. Berdasarkan ketentuan tersebut, NSI akan menangguhkan
pemakaian sebuah domain name yang diklaim oleh salah satu pihak sebagai telah
memakai merk dagang yang sudah terkenal.
UNDANG-UNDANG IT DI INDONESIA
Di negara kita terkenal dengan Undang-Undang yang
berlaku untuk semua masyarakat Indonesia yang melakukan pelanggaran baik itu
pemerintahan ataupun masyarakat umum. Untuk dunia informasi teknologi dan
elektronik dikenal dengan UU ITE. Undang-Undang ITE ini sendiri dibuat
berdasarkan keputusan anggota dewan yang menghasilkan undang-undang nomor 11
tahun 2008.
Keputusan ini dibuat berdasarkan musyawarah mufakat
untuk melakukan hukuman bagi para pelanggar terutama di bidang informasi teknologi
elektronik.
Berikut sebagian inti dari undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi & Transaksi Elektronik (ITE) mengenai hukuman dan denda untuk setiap pelanggarannya:
Berikut sebagian inti dari undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi & Transaksi Elektronik (ITE) mengenai hukuman dan denda untuk setiap pelanggarannya:
1. Pasal
27
Denda
Rp 1 miliar dan enam tahun penjara bagi orang yang membuat, mendistribusikan,
mentransmisikan, materi yang melanggar kesusilaan, judi, menghina dan mencemari
nama baik, memeras dan mengancam.
2. Pasal
28
Denda
Rp 1 miliar dan enam tahun penjara bagi orang yang menyebarkan berita bohong
dan menyesatkan, sehingga merugikan konsumen transaksi elektronik dan
menimbulkan kebencian dan permusuhan antar kelompok.
3.
Pasal 30
Denda
Rp 600-800 juta dan penjara 6-8 tahun bagi orang yang memasuki komputer atau
sistem elektronik orang lain, menerobos, sampai menjebol sistem pengamanan.
4. Pasal
31
Denda
Rp 800 juta dan penjara 10 tahun bagi orang yang menyadap informasi elektronik
atau dokumen elektronik di komputer atau sistem elektronik –mengubah maupun
tidak dokumen itu.
5. Pasal
32
Denda
Rp 2-5 miliar dan penjara 8-10 tahun bagi orang yang mengubah, merusak,
memindahkan, dan menyembunyikan informasi atau dokumen elektronik.
6. Pasal
34
Denda
Rp 10 miliar dan penjara 10 tahun bagi orang yang memproduksi, menjual,
mengimpor, mendistribusikan, atau memiliki perangkat keras dan lunak sebagaimana
di Pasal 27-34.
B. COMPUTER
CRIME ACT (MALAYSIA)
Cybercrime merupakan suatu kegiatan yang dapat dihukum karena telah
menggunakan komputer dalam jaringan Internet yang merugikan dan menimbulkan
kerusakan pada jaringan komputer Internet, yaitu merusak properti, masuk tanpa
izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi, pemalsuan data, pencurian,
pengelapan dana masyarakat. Untuk itulah dibentuk suatu undang-undang yang
mengatur tentang kriminalitas kejahatan komputer.
Computer Crime Act (Malaysia) merupakan suatu peraturan Undang – undang
yang memberikan pelanggaran – pelanggaran yang berkaitan dengan penyalah gunaan
komputer, undang – undang ini berlaku pada tahun 1997. Computer crime berkaitan
dengan pemakaian komputer secara illegal oleh pemakai yang bersifat tidak sah,
baik untuk kesenangan atau untuk maksud mencari keuntungan.
Lima cyberlaws telah berlaku pada tahun 1997 tercatat di kronologis
ketertiban. Digital Signature Act 1997 merupakan Cyberlaw pertama yang disahkan
oleh parlemen Malaysia. Tujuan Cyberlaw ini, adalah untuk memungkinkan
perusahaan dan konsumen untuk menggunakan tanda tangan elektronik (bukan tanda
tangan tulisan tangan) dalam hukum dan transaksi bisnis.
Computer Crimes Act 1997 menyediakan penegakan hukum dengan kerangka hukum
yang mencakup akses yang tidak sah dan penggunaan komputer dan informasi dan
menyatakan berbagai hukuman untuk pelanggaran yang berbeda komitmen. Para
Cyberlaw berikutnya yang berlaku adalah Telemedicine Act 1997. Cyberlaw ini
praktisi medis untuk memberdayakan memberikan pelayanan medis / konsultasi dari
lokasi jauh melalui menggunakan fasilitas komunikasi elektronik seperti
konferensi video.
Berikut pada adalah Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia 1998 yang
mengatur konvergensi komunikasi dan industri multimedia dan untuk mendukung
kebijakan nasional ditetapkan untuk tujuan komunikasi dan multimedia industri.
The Malaysia Komunikasi dan Undang-Undang Komisi Multimedia 1998 kemudian
disahkan oleh parlemen untuk membentuk Malaysia Komisi Komunikasi dan
Multimedia yang merupakan peraturan dan badan pengawas untuk mengawasi
pembangunan dan hal-hal terkait dengan komunikasi dan industri multimedia.
Departemen Energi, Komunikasi dan Multimedia sedang dalam proses penyusunan
baru undang-undang tentang Perlindungan Data Pribadi untuk mengatur
pengumpulan, kepemilikan, pengolahan dan penggunaan data pribadi oleh
organisasi apapun untuk memberikan perlindungan untuk data pribadi seseorang
dan dengan demikian melindungi hak-hak privasinya. Ini to-be-undang yang
berlaku didasarkan pada sembilan prinsip-prinsip perlindungan data yaitu :
- Cara
pengumpulan data pribadi.
- Tujuan
pengumpulan data pribadi.
- Penggunaan
data pribadi.
-
Pengungkapan data pribadi.
- Akurasi
dari data pribadi.
- Jangka
waktu penyimpanan data pribadi.
- Akses ke
dan koreksi data pribadi.
- Keamanan
data pribadi.
- Informasi
yang tersedia secara umum.
C. COUNCIL OF
EUROPE CONVENTION ON CYBER CRIME
Council of Europe Convention on Cyber crime merupakan suatu organisasi
international dengan fungsi untuk melindungi manusia dari kejahatan dunia maya
dengan aturan dan sekaligus meningkatkan kerjasama internasional. 38 Negara,
termasuk Amerika Serikat tergabung dalam organisasi international ini. Tujuan
dari organisasi ini adalah memerangi cybercrime, meningkatkan investigasi
kemampuan.
Saat ini berbagai upaya telah dipersiapkan untuk memerangi cybercrime. The
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat
guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer-related
crime, di mana pada tahun 1986 OECD telah mempublikasikan laporannya yang
berjudul Computer-Related Crime: Analysis of Legal Policy.
Laporan ini berisi hasil survey terhadap peraturan perundang-undangan
Negara-negara Anggota beserta rekomendasi perubahannya dalam menanggulangi
computer-related crime tersebut, yang mana diakui bahwa sistem telekomunikasi
juga memiliki peran penting dalam kejahatan tersebut.
Melengkapi laporan OECD, The Council of Europe (CE) berinisiatif melakukan
studi mengenai kejahatan tersebut. Studi ini memberikan guidelines lanjutan
bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang
seharusnya dilarang berdasarkan hukum pidana Negara-negara Anggota, dengan
tetap memperhatikan keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan
kebutuhan untuk melakukan proteksi terhadap computer-related crime tersebut.
Pada perkembangannya, CE membentuk Committee of Experts on Crime in
Cyberspace of the Committee on Crime Problems, yang pada tanggal 25 April 2000
telah mempublikasikan Draft Convention on Cyber-crime sebagai hasil kerjanya (
http://www.cybercrimes.net), yang menurut Prof. Susan Brenner (brenner@cybercrimes.net)
dari University of Daytona School of Law, merupakan perjanjian internasional
pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe
tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau
data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis.
Tujuan utama dari Council of Europe Convention on Cyber Crime adalah untuk
membuat kebijakan “penjahat biasa” untuk lebih memerangi kejahatan yang
berkaitan dengan komputer seluruh dunia melalui harmonisasi legislasi nasional,
meningkatkan kemampuan penegakan hukum dan peradilan, dan meningkatkan
kerjasama internasional. Untuk tujuan ini, Konvensi ini mengharuskan
penandatangan untuk :
1.
Menetapkan pelanggaran dan sanksi pidana berdasarkan
undang-undang domestik mereka untuk empat kategori kejahatan yang berkaitan
dengan komputer: penipuan dan pemalsuan, pornografi anak, pelanggaran hak
cipta, dan pelanggaran keamanan (seperti hacking, intersepsi ilegal data, serta
gangguan sistem yang mengkompromi integritas dan ketersediaan jaringan. Penanda
tangan juga harus membuat undang-undang menetapkan yurisdiksi atas tindak
pidana tersebut dilakukan di atas wilayah mereka, kapal atau pesawat udara
terdaftar, atau oleh warga negara mereka di luar negeri.
2.
Menetapkan prosedur domestik untuk mendeteksi,
investigasi, dan menuntut kejahatan komputer, serta mengumpulkan bukti tindak
pidana elektronik apapun. Prosedur tersebut termasuk menjaga kelancaran data
yang disimpan dalam komputer dan komunikasi elektronik (“traffic” data), sistem
pencarian dan penyitaan, dan intersepsi real-time dari data. Pihak Konvensi
harus menjamin kondisi dan pengamanan diperlukan untuk melindungi hak asasi
manusia dan prinsip proporsionalitas.
3.
Membangun sistem yang cepat dan efektif untuk
kerjasama internasional. Konvensi ini menganggap pelanggaran cyber crime dapat
diekstradisikan, dan mengizinkan pihak penegak hukum di satu negara untuk
mengumpulkan bukti yang berbasis komputer bagi mereka yang lain. Konvensi juga
menyerukan untuk membangun 24 jam, jaringan kontak tujuh-hari-seminggu untuk
memberikan bantuan langsung dengan penyelidikan lintas-perbatasan.
BAB III
KESIMPULAN
Dari hasil definisi di ata, menurut saya dapat disimpulkan, perbandingan
dari Cyber Law, Computer crime act (Malaysia), Council of Europe Convention on
Cyber Crime adalah bahwa pada Cyber Law terfokus pada aspek yang berhubungan
dengan subyek hukum, sedangkan Computer Crime Act lebih menekankan pada aspek
keluaran dari pemanfaatan dan pemakaian komputer dan Council of Europe Convention
on Cyber Crime merupakan lembaga organisasi untuk memerangi kejahatan di dunia
maya sekaligus meningktkan kerjasama antar Negara.
Dari berbagai upaya yang dilakukan tersebut, telah jelas bahwa cybercrime
membutuhkan global action dalam penanggulangannya mengingat kejahatan tersebut
seringkali bersifat transnasional. Beberapa langkah penting yang harus
dilakukan setiap negara dalam penanggulangan cybercrime adalah :
1. Melakukan
modernisasi hukum pidana nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan
dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut.
2. Meningkatkan
sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional.
3. Meningkatkan
pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan,
investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime.
4. Meningkatkan
kesadaran warga negara mengenai masalah cybercrime serta pentingnya mencegah
kejahatan tersebut terjadi.
5. Meningkatkan
kerjasama antar negara, baik bilateral, regional maupun multilateral, dalam
upaya penanganan cybercrime, antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan
mutual assistance treaties.
BAB IV
DAFTAR
PUSTAKA
http://siremon2009.blogspot.com/2010/04/apa-sch-perbandingan-cyber-law-computer.html
http://princeznaj.blogspot.com/2010/04/perbandingan-cyber-law-computer-crime.html
http://maxdy1412.wordpress.com/2010/05/01/perbandingan-cyber-law-indonesia-computer-crime-act-malaysia-council-of-europe-convention-on-cyber-crime-eropa/
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/05/peraturan-dan-regulasi-perbedaan-berbagai-cyber-law-di-berbagai-negara/
Create by DedensMDs
download versi Word disini!!
Comments
Post a Comment